Gunung Kerinci

.......................

Persawahan Kerinci

...................

Perkebunan Teh

........................

Danau Kerinci

..........................

Danau Kaco

.................................

About

Sabtu, 11 Agustus 2012

Hari Pertama Pendaftaran, 4 Partai Serahkan Berkas Ke KPU

Jumat, 10 Agustus 2012
Jakarta, kpu.go.id- Empat partai politik calon peserta Pemilu 2014, mendaftarkan diri pada hari pertama pendaftaran, Jumat (10/8) di Gedung KPU, Jl. Imam Bonjol 29, Jakarta. Keempat parpol itu adalah Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Pemuda Indonesia (PPI), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

 PDK yang tiba di meja panitia pendaftaran pada pukul 10.10 WIB, tercatat sebagai partai yang pertama kali mendaftar. Sekjen PDK, Kun Wardana Abyoto, menyerahkan berkas-berkas pendaftaran, didampingi oleh 5 (lima) orang pengurus partai yang mengenakan seragam putih.


Sepuluh menit berselang, giliran Partai Nasdem mendaftar. Dipimpin oleh ketua dewan pakarnya, Hary Tanoesudibjo, dan ketua partai, Patrice Rio Capela, partai ini  langsung menyerahkan berkas-berkas pendaftaran dan hardcopy  Kartu Tanda Anggota (KTA) kepada panitia. Sementara, ratusan massa pendukungnya yang mengenakan atribut tradisional, menunggu di luar halaman Gedung KPU sambil meneriakkan yel-yel. Tampak juga pesulap Limbad mempertontonkan aksinya menarik mobil pick-up berisi 150 kotak data partai, serta artis Dionisius Agung Subagyo atau lebih dikenal Dion “Idol” yang menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

Pukul 11.15 WIB, dipimpin oleh Sekjennya, Satrio Purwanto, PPI pun datang ke Ruang Sidang Lt. II KPU, mendaftarkan diri.  

Kemudian, pukul 14.00 WIB, datang Partai Hanura. Partai ini menjadi partai keempat atau yang terakhir yang mendaftarkan diri pada hari pertama pendaftaran. Seperti Partai Nasdem, Partai Hanura yang dipimpin oleh Sekjennya, Dossy Iskandar Prasetyo juga menyerahkan berkas pendaftaran lengkap dengan hardcopy  KTA yang dikemas dalam 65 kotak.

Rio Capella, Sekjen Partai Nasdem, ketika dikonfirmasi menyatakan, kesiapan partainya menunjukkan bentuk semangat untuk membuat perubahan ke arah perbaikan politk dan demokrasi di Indonesia.

“Kehadiran kami sejak pagi ke KPU untuk mendaftar menunjukkan, partai kami sangat siap untuk menjadi peserta Pemilu 2014, dan kami ingin membuat perubahan kehidupan politik dan demokrasi di negeri ini ke arah yang lebih baik. Partai Nasdem hari ini juga secara serentak mendaftarkan diri (menyerahkan KTA dalam bentuk fisik-red) di seluruh tingkatan di Indonesia,” katanya.

Senada, Sekjen Partai Hanura, Dossy Iskandar mengungkapkan kesiapan partainya untuk menjadi peserta pemilu 2014.

“Semua persyaratan yang diminta oleh KPU sudah kita penuhi. DPD dan PAC kita sudah 100%, dan ini terus kita update. Ini menandakan Hanura sudah sangat siap menghadapi pemilu,” beber Dossy, yang mengaku partainya telah melakukan survey internal pada Juni 2012, dan hasilnya, Hanura memperoleh 3 sampai 4 kali suara yang melampaui Parliamentary Treshold (PT).
Pendaftaran parpol dilakukan pukul 08.00 - 16.00 WIB di Ruang Sidang Utama, Lt. II, Gedung KPU, Jl. Imam Bonjol 29, Jakarta. (10 Agustus - 7 September 2012)

Hari ini, KPU Memulai Verifikasi Parpol Pemilu 2014


Hari ini, KPU Memulai Verifikasi Parpol Pemilu 2014

  • Written by  Adi Mulia Pradana
  • font size decrease font size decrease font size increase font size increase font size
  • Print
  • Email
  • Be the first to comment!
Hari ini, KPU Memulai Verifikasi Parpol Pemilu 2014
Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Denpasar Made Gede Ray Misno mengatakan, mulai hari Kamis hingga Minggu resmi membuka pendaftaran verifikasi faktual partai politik.

"Terhitung mulai hari ini KPU secara serentak, resmi membuka pendaftaran dan verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilihan umum legislatif 2014," kata Ray Misno di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan, mekanisme verifikasi faktual parpol peserta pemilu menjadi salah satu hal krusial dalam tahapan pemilu legislatif serta pilpres. Karena persyaratan yang tertuang dalam peraturan KPU terbaru, lebih memberatkan parpol terutama parpol dengan suara sedikit, akan terancam tak lolos dalam proses verifikasi tersebut.

Ray Misno mengatakan, proses pendaftaran dan verifikasi parpol mengacu pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu (DPR, DPD dan DPRD).

Selain itu juga Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu. Yaitu mulai tanggal 9 Agutus 2012 tahapan pendaftaran dan verifikasi penetapan parpol untuk pemilu 2014 yang dituangkan dalam Peraturan KPU No 8 Tahun 2012.

"Untuk tahapan ini (pendaftaran dan verifikasi awal dilakukan induk parpol di KPU Pusat. Daerah hanya menerima berkas Kartu Tanda Anggota (KTA) dan daftar nama anggota KTA di masing-masing parpol yang dimulai dari 9 Agustus hingga 7 September 2012," ujarnya.

KPU Pusat, kata Ray Misno, akan melakukan verifikasi kelengkapan administrasi selama 35 hari, terhitung sejak Jumat.

"Setelah rampung dan waktu 35 hari habis, jika masih ada yang belum lengkap secara administrasi, maka berkas akan dikembalikan ke induk parpol bersangkutan untuk melakukan perbaikan. Waktu yang diberikan tujuh hari," katanya.

Bila persyaratan sudah terpenuhi, kata dia, barulah dari KPU Pusat akan mengirim berkas ke masing daerah, yaitu KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota di Indonesia. Selanjutnya di daerah melakukan verifikasi administrasi dan faktual selama 21 hari

http://www.antaranews.com/berita/326579/kpu-mulai-buka-verifikasi-faktual-parpol

Selasa, 07 Agustus 2012

Kinerja KPU Harus Outcome Oriented

Husni Kamil Manik: Kinerja KPU Harus Outcome Oriented
Jumat, 03 Agustus 2012
Bandung, kpu.go.id- KPU harus memulai perubahan manajemen berbasis kinerja, yang semula hanya berorientasi pada
anggaran (input oriented), menjadi berorientasi pada hasil (outcome oeriented).
Hal itu dikatakan oleh Ketua KPU, Husni Kamil Manik, pada pembukaan Rapat Pertemuan Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan KPU-KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, Kamis (2/8), di Bandung, Jawa Barat.
“Perubahan paradigma tersebut diawali dengan perubahan pada managemen berbasis kinerja. Dengan outputoriented,
KPU tidak hanya berpikir untuk menghabiskan anggaran dan melaporkan penggunaan anggaran setiap akhir
periode, namun yang lebih penting adalah kinerja apa yang ingin dihasilkan dan dipertanggungjawabkan di akhir
periode,” tandas Husni.
Pertemuan yang dimaksudkan untuk melakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan penilaian Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2006 maupun hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu dihadiri oleh anggota KPU, Arief Budiman, dan Wakil Sekjen, Asrudi Trijono,
serta jajaran Sekretariat Jenderal KPU.
Menurut Husni, sebagai penyelenggara pemilu, KPU sudah mulai mendapat sorotan publik, terlebih karena karena saat
ini sedang mempersiapkan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014. Karena itu, dalam melaksanakan tugas pkok dan
fungsi (tupoksi)-nya senantiasa harus berhati-hati, tetapi harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam
membuat regulasi, dokumentasi maupun laporan.
“Evaluasi Kinerja dilakukan dalam melaksanakan fungsi akuntabilitas dan fungsi peningkatan kualitas. KPU
masih dianggap belum mempunyai kinerja yang memenuhi harapan pemerintah seperti hasil penilaian LAKIP yang
masih tergolong C dan hasil pemeriksaan BPK masih berstatus Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Berdasarkan hasil evaluasi kinerja, sambungnya, KPU diminta untuk meningkatkan sistem kinerjanya, melakukan
koordinasi dan sinkronisasi antar biro dan inspektorat, dan menyusun laporan pelaksanaan kegiatan KPU secara
terpadu.
“Penyusunan itu memang tidak mudah, karena banyak sekali sistem pelaporan belum dilakukan secara terpadu.
KPU, dalam hal ini, telah berupaya dengan keras untuk meningkatkan status laporan keuangan dari semula Wajar
Dengan Pengecualian (WDP) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2012,” Husni.
Sementara, Arief Budiman dan Asrudi Trijono mengungkapkan, KPU harus memiliki sumber daya manusia yang
memiliki karakter dan kompetensi yang handal, profesional, dan akuntabel.
“Harus ada kepedulian, keterbukaan, dan komitmen antar biro dan inspektorat di KPU dalam setiap menghadapi
setiap persoalan. Kita harus solid,” tegas Arief. Ia berharap, ada pertemuan antar KPU dengan KPU provinsi dan
KPU kabupaten/kota per region secara reguler.
“Usai Lebaran, kita akan adakan pertemuan yang melibatkan Biro Perencanaan, Biro Keuangan, dan Biro
Logistik untuk membahas penyusunan laporan ini, sekaligus merevisi Renstra KPU,” kata Asrudi.
Pertemuan yang digagas oleh Biro Perencanaan, Data dan Informasi tersebut berlangsung selama 3 (tiga) hari.
Narasumber yang diundang, Mardiah Thamrin, dari Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan
Bappenas, dan Siddiq dari Direktorat Anggaran II Kementerian Keuangan. (dd/red)
Komisi Pemilihan Umum
http://

Pemerintah Ingin Pemilu Serentak, Beberapa Partai Masih Terbelah



Pemerintah Ingin Pemilu Serentak, Beberapa Partai Masih Terbelah
  • Written by  Adi Mulia Pradana
  • font size decrease font size decrease font sizeincrease font size increase font size
  • Print
  • Email
  •  
  • Be the first to comment!
Pemerintah Ingin Pemilu Serentak, Beberapa Partai Masih Terbelah
Kemendagri sedang menyusun rancangan UU  Pemilukada yang mengarah pada pemilu serentak. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, mengatakan, perumusan pemilu serentak bertujuan meningkatkan kualitas dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia
Menurut Moenek, rencana pelaksanaan pemilu presiden, legislatif, dan kepala daerah secara serentak juga efisien. Mengambil pengalaman pemilukada Aceh dan Sumatera Utara yang melaksanakan pemilukada berbarengan, pembiayaannya pemilihan jauh lebih hemat biaya, dan lebih efisien secara SDM.
"Masyarakat juga tak perlu berulang-ulang datang ke TPS," kata Moenek (6/8)
Beberapa parpol di DPR masih terbelah terhadap wacana ini, dimana ada yang setuju dan ada yang kurang sependapapat. Ketua DPP PKB Abdul Malik Haramain menyatakan, pemerintah harus segera menyelesaikan rumusan RUU Pemilukada agar bisa disahkan DPR secepatnya. Hal ini karena hampir semua fraksi DPR mendukung wacana pemilu serentak.
Sementara Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Thohari menyatakan, Golkar menunggu rancangan rumusan pemerintah terkait pemilu serentak. Menurut Hajriyanto, Golkar sudah sejak lama mendukung keserentakan pemilu.
Hal berbeda diungkapkan beberapa elit Demokrat, dimana ada yang setuju dan ada yang kurang sependapat. Wakil Ketua DPP Demokrat Saan Mustopa mengatakan banyak sisi positif pemilu serentak. Pemilu serentak bisa dirancang sejak 2013, dengan menarik beberapa pemilukada ke 2013 atau justru dimundurkan ke setelah 2014. "Selain banyak penghematan, pemilu serentak menciptakan kualitas pemilukada yang bagus dan mengurangi konflik horizontal," tutur Saan
Sementara pendapat berbeda disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Anas mengatakan tidak sepakat dengan usulan penyelenggaraan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) secara serentak pada perubahan UU 42/2008 tentang pilpres yang tengah berlangsung di DPR. Partai pemenang pemilu tersebut menilai, konsep pemilihan umum seperti yang sekarang berjalan sudah cukup bagus. 

''Ada partai yang melontarkan ide agar yang berhak mengajukan pasangan calon itu partai yang di pemilu legislatif ranking satu, dua, tiga misalnya. Dan usulan-usulan yang lain. Tapi intinya menurut saya, apa yang sudah jalan itu sudah cukup bagus,'' ujar Anas (7/8).

Ia menjelaskan, pileg itu sudah ada empat jenis. Yaitu pemilihan DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD. Anas pun mengaku sulit membayangkan jika pemilu harus ada penambahan pilpres. Maka, kesempatan rakyat untuk mempelajari para calon menjadi lebih terbatas.

''Karena itu menurut saya, pileg yang sudah empat jenis itu sudah cukup bagus, tak perlu ditambah lagi,'' papar Anas.

Selain itu, lanjut dia, RUU Pilpres selama ini juga menjadikan hasil pileg sebagai syarat untuk mengajukan pasangan capres-cawapres. Mengacu pada pemilu 2009, syarat tersebut yaitu parpol atau gabungan parpol yang mendapatkan 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional di pileg.

''Kalau konteksnya seperti itu tidak bisa. Jadi hasil pileg itu salah satu syarat. Ini etape awal untuk masuk ke pilpres. Dengan begitu menurut saya, pileg biarkan berjalan. Karena sudah empat jenis itu. Kemudian pilpres biarkan berjalan,'' ungkap Anas.

Ia pun menepis alasan pelaksanaan pemilu serentak itu untuk efisiensi. Harusnya, pemilu tak hanya berpikir mengenai efisiensi, melainkan juga bagaimana melayani dengan baik rakyat sebagai pemilih secara politik. Caranya, antara lain dengan memberikan kesempatan rakyat mempelajari dengan persis siapa calon yang mau dipilih.

Alasan untuk membuat koalisi yang stabil pun dibantah. Menurut Anas, koalisi merupakan tradisi baru di Indonesia. Namun, dipastikan kalau koalisi itu tak terkait dengan pelaksanaan pileg dan pilpres yang serentak atau tidak.

''Koalisi itu kerja sama politik. Koalisi itu bisa dibangun sebelum pileg skalipun. Meski pun finalnya biasanya setelah pileg,'' pungkas Anas.

Otonomi Daerah dari Presiden ?

Otonomi Daerah dari Presiden ?

  • Written by  Adi Mulia Pradana
  • font size decrease font size decrease font size increase font size increase font size
  • Print
  • Email
  • Be the first to comment!

(opini Harian Kompas, Selasa 31 Juli 2012, oleh Ramlan Surbakti)
Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah—untuk mengganti UU No 32 Tahun 2004—yang baru-baru ini diserahkan pemerintah kepada DPR menawarkan cara pandang baru.
Cara pandang baru di sini adalah dalam menjabarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi dibagi lagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Dari isi Bab II tentang Kekuasaan Pemerintahan (Pasal 2) dapat disimpulkan, pemerintahan daerah sebagai ”penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam prinsip dan sistem NKRI, sebagaimana dimaksud UUD 1945” adalah penyerahan sebagian kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif).
Beberapa ayat dari Pasal 2 membuktikan kesimpulan tersebut. Pertama, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dalam sistem administrasi NKRI. Sistem administrasi negara hendaklah dibaca sebagai sistem pelaksanaan kebijakan publik (UU) alias eksekutif. Kedua, presiden dibantu para menteri untuk menjalankan urusan pemerintahan. Ketiga, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan. Keempat, dalam melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah. Sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah itulah yang tampaknya dimaksudkan sebagai otonomi daerah seluas-luasnya. Kelima, presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Bab tentang Penataan Daerah juga menunjukkan betapa pembentukan daerah otonom adalah kekuasaan presiden. Setidaknya tiga hal membuktikan hal itu. Pertama, pemerintah pusat menetapkan desain besar penataan daerah yang berisi estimasi jumlah daerah, strategi pembentukan, penghapusan, penggabungan dan penyesuaian daerah, serta rencana pembentukan daerah baru untuk kepentingan strategis nasional (Pasal 19). Kedua, pemerintah pusat melakukan penataan daerah, yaitu pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan penyesuaian daerah (Pasal 6). Ketiga, setiap pembentukan daerah baru harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Bab V tentang Urusan Pemerintahan (Pasal 20) yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga kategori (absolut, konkuren, dan umum) juga menunjukkan RUU ini adalah RUU tentang kekuasaan eksekutif. Termasuk urusan pemerintahan absolut adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, justisia, serta agama (Pasal 21). Urusan pemerintahan absolut ini sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Cara pandang baru menafsirkan NKRI dengan pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang jadi urusan pusat, selain sebagai penerapan pendekatan administrasi publik tampaknya juga dilandasi suatu maksud agar presiden (dan para pembantunya) dapat mengendalikan semua kegiatan pemerintahan daerah sehingga tercapai tujuan dan sasaran nasional yang ditetapkan presiden.
Pertanyaan dan gugatan
Berdasarkan RUU ini, kekuasaan presiden untuk mengendalikan pemerintahan daerah tak hanya melalui desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan, tetapi juga melalui dua cara lain. Pertama, daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota diberi status sebagai wilayah administratif. Dengan demikian, kepala daerah juga berperan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (Pasal 5) sebagaimana diterapkan selama Orde Baru berdasarkan UU No 5/1974. Kedua, penerapan pengawasan pemerintahan daerah yang bersifat preventif harus mendapat evaluasi (kata lain dari persetujuan) menteri untuk rancangan peraturan daerah provinsi, serta mendapat evaluasi dari gubernur—sebagai wakil pusat di daerah—untuk rancangan perda kabupaten/kota sebelum disahkan (Pasal 131).
Sejumlah pertanyaan mendasar perlu diajukan terhadap cara pandang baru ini.
Pertama, apakah pengertian desentralisasi yang digunakan dalam Pasal 2 Ayat (4) RUU Pemda tersebut (”dalam melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah”) sama artinya dengan pengertian pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 UUD 1945. Khususnya Ayat (5): ”Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat.”
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pengertian ”kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden”. Kalau mencermati pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam UUD 1945, kekuasaan pemerintahan yang dipegang presiden adalah kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif).
Di pihak lain, kalau mencermati Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 dapat disimpulkan: pengertian otonomi seluas-luasnya dalam Pasal 18 Ayat (5) niscaya bukan berasal dari kekuasaan eksekutif presiden. Kalau pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berasal dari kekuasaan eksekutif presiden, pembentukan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota (sebagai daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan, susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah serta hubungan keuangan pusat dan daerah) tak perlu dengan UU. Cukup peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
Apabila otonomi daerah seluas-luasnya berasal dari presiden sebagai pemegang kekuasaan menjalankan UU, pemerintahan daerah tidak perlu diberi kewenangan membentuk perda dan peraturan lain untuk menjalankan otonomi daerah dan urusan pembantuan berdasarkan prakarsa dan kondisi daerah.
Kalau urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD berasal dari kekuasaan eksekutif presiden, mengapa anggota DPRD dan kepala daerah provinsi dan kepala daerah kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilihan umum? Sudah tentu akan lebih efisien apabila DPRD dihapuskan (karena tidak ada urusan yang bersifat substantif yang dapat diatur) dan kepala daerah cukup diangkat saja.
Kedua, sebagai lanjutan pertanyaan pertama, siapa yang menyerahkan ”otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat” kepada setiap daerah otonom?
Jawaban yang diberikan pemerintah dalam RUU tersebut adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Akan tetapi, jawaban yang diberikan oleh UUD 1945 bukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, melainkan pembentuk UU [Pasal 18 Ayat (1), Ayat (5), dan Ayat (7), Pasal 18A Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945]. Kita tahu, lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk UU bukan presiden melainkan DPR (Pasal 20), walaupun setiap pembahasan RUU wajib melibatkan dan mendapatkan persetujuan Presiden. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tadi bukan presiden melainkan negara atau pemerintahan nasional.
Pertanyaan ketiga, siapa yang dimaksud pemerintah pusat dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945? Pertanyaan ini diajukan karena enam urusan pemerintahan absolut ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah pusat dalam RUU ini. RUU ini mendefinisikan pemerintah pusat (dalam Ketentuan Umum) sebagai presiden dan wakil presiden, serta para menteri.
Pengertian yang sempit ini kurang tepat berdasarkan argumentasi konstitusional berikut. Kedaulatan NKRI ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dan bahwa NKRI adalah negara hukum (Pasal 1 UUD 1945). Hal ini berarti sumber kekuasaan NKRI adalah rakyat dan kekuasaan NKRI diselenggarakan berdasarkan hukum.
Oleh karena itu, pembagian kekuasaan dalam NKRI haruslah berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum. Adapun yang dijalankan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif dan dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai kekuasaan yudikatif dalam ”mengadili” perkara adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif.
Artinya, ”politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, yustisia, dan agama” sebagai enam urusan pemerintahan absolut, tak mungkin sepenuhnya jadi kewenangan pemerintah pusat, dalam arti lembaga eksekutif. Sebab, penyelenggaraan semua jenis urusan itu (termasuk urusan pemerintahan absolut) harus berdasarkan kedua prinsip tadi: kedaulatan rakyat dan negara hukum.
Konkretnya, keenam jenis urusan pemerintahan absolut tersebut harus diatur dengan UU oleh para wakil rakyat untuk dapat dilaksanakan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan dapat digunakan oleh lembaga yudikatif dalam mengadili perkara yang menyangkut urusan tersebut. Kalau argumentasi konstitusional ini benar, yang dimaksud dengan pemerintah pusat dalam Pasal 18 Ayat (5) bukan hanya pemerintah dalam arti sempit (presiden, wakil presiden, dan para menteri), tetapi pemerintah dalam arti luas, yakni termasuk legislatif dan yudikatif.
Keliru memilih pijakan
Komentar terakhir adalah berkaitan dengan cara berpikir hukum terbalik dalam pengaturan penataan daerah dan pengaturan desain besar penataan daerah. Disebut terbalik karena pembentukan, penggabungan, penghapusan, dan penyesuaian daerah otonom dilakukan dengan UU (Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 14), tetapi desain besar penataan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat (Pasal 19).
Disebut juga berpikir hukum terbalik karena undang-undang menjalankan peraturan pemerintah. Baik pola dan arah desain besar penataan daerah maupun berbagai bentuk penataan daerah seharusnya diatur secara jelas dalam UU tentang Pemerintahan Daerah.
Selain harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis, pembentukan daerah otonom baru juga harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun. Hanya daerah persiapan yang dinilai layak oleh pemerintah sajalah yang akan ditetapkan sebagai daerah otonom baru melalui UU. Pengaturan tentang daerah persiapan ini sepenuhnya dilakukan pemerintah dengan peraturan pemerintah. Ketentuan seperti ini tidak saja merupakan tindakan sepihak pemerintah yang ”mendikte” DPR, juga menutup kesempatan DPR mengajukan RUU terkait pembentukan daerah otonom baru. Tindakan yang dilandasi oleh niat yang baik sekalipun, tetapi melanggar UUD, tetaplah merupakan pelanggaran.
Dua kesimpulan dapat diajukan terhadap RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan tersebut. Pertama, RUU itu bukanlah jawaban yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan ”NKRI yang dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat”. Kedua, RUU Pemerintahan Daerah tersebut berangkat dari pijakan konstitusional yang keliru dalam menjabarkan susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kekhususan setiap daerah.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
http://cetak.kompas.com/read/2012/07/31/02031996/otonomi.daerah.dari.presiden